Dikisahkan disebuah kota yang ramai, hiduplah sepasang suami istri bersama anak-anaknya yang masih kecil. Mereka hidup bahagia dengan melewati hari-hari dengan sederhana. Dengan bekal sebagai seorang pedagang manisan, sang suami giat mencari uang demi anak dan istri tercinta.
Tak terasa waktu demi waktu telah berlalu, dan anak-anaknya pun telah kian dewasa. Si sulung yang telah menamatkan pendidikan tingginya, telah berhasil mendapatkan kerjaan yang layak. Dengan giat setiap hari dia bekerja, dan dia pun berhasil mendapatkan posisi yang baik di perusahaan, karena ketekunannya.
Tanpa disadari, waktu dan kehidupan si sulung lama kelamaan hanya dicurahkannya pada kantor dan temen-temen sekerjanya. Dia pun mulai kehilangan waktu untuk sekedar berbicara dan berbagi dengan keluarganya. Setiap pagi jam 6 pagi dengan cepat dia berangkat kerja, dan sampai jam 12 malem baru lah dia menginjakkan kakinya didepan pintu rumahnya, hanya sekedar untuk beristirahat, demikian seterusnya.
Orang tua dan adik-adiknya hanya bisa mendukungnya tanpa pernah mengeluh sedikit pun, walaupun terkadang mereka juga merindukan untuk dapat berkumpul bersama si sulung barang sejenak, sekedar untuk berbagi cerita.
Pada suatu pagi sang ayah yang telah lama menderita penyakit gula, mendadak pingsan dan dalam keadaan kritis. Sang istri yang begitu panik segera melarikannya kerumah sakit untuk dirawat. Anak-anaknya yang lain pun segera menjenguk ayahnya yang kritis dirumah sakit, hanya si sulung yang tidak tampak.
Adik-adiknya berusaha menghubunginya sang kakak dikantornya, namun sang kakak hanya mengatakan akan segera menjenguk setelah pekerjaannya selesai dikantor.
Semakin malam masa kritis sang ayah pun tidak membaik, dan akhirnya sang ayah pun meninggal dunia. Sang istri dan anak-anaknya pun bersedih, namun si sulung pun tidak tampak diantara mereka. Dan tak lama dari waktu sang ayah meninggal baru lah si sulung menjenguk ayahnya, namun dia telah terlambat, karena sang ayah telah meninggalkannya untuk selamanya.
Hanya penyesalan lah yang menyelimuti perasaan si sulung, karena kesibukkannya dikantor mengalahkan arti sebuah keluarga dalam hatinya.
~ Pepatah Tiongkok lama mengatakan keluarga adalah mutiara. Begitu berharganya nilai sebuah keluarga sehingga dia disamakan dengan mutiara. Karena dari sebuah keluargalah kita lahir, tumbuh dan dewasa. dan tanpa keluargalah orang yang pertama kali memberikan kita sebuah semangat dan motivasi untuk maju,dan selalu keluargalah yang pertama kali mengetahui keadaan kita,bagaimanapun keadaan kita.
Sehingga begitu dalam makna keluarga yang harus kita patrikan didalam hati kita kelak dan selamanya. Kadangkala kita dengan alasan kerja mengabaikan keluarga kita, suami, istri, orang tua ataupun anak-anak kita. Namun kita lupa bahwa sesungguh kebahagiaan sejati bukan hanya diukur dari materi namun dari kehangatan sejati yang kita peroleh dari saling berbagi dalam kebersamaan sebuah keluarga. Kita boleh bersosialisasi dengan orang diluar keluarga kita namun alangkah bijaknya jika kita juga bisa meluangkan sedikit waktu kita yang berharga untuk memberikan curah kasih pada keluarga kita~